Rabu, 24 Agustus 2011, pukul 11.56 WIB, kebetulan kereta Argo Parahyangan yang saya tumpangi bergerak antara Cimahi – Padalarang. Tiba-tiba, seorang anak kecil melempar batu, yang memecahkan kaca dan mengenai penumpang anak-anak juga di gerbong eksekutif 3 bangku 7C.
Saya ada di bangku 2A, tak jauh dari anak yang terkena batu tersebut. Batunya mengenai kepala sehingga berdarah dan pecahan kaca juga menyebar di rambutnya, sehingga merepotkan sanakkeluarganya yang berusaha membersihkan pecahan kaca tersebut. Petugas mengerubungi, tapi tak bisa melakukan apa-apa dengan kereta yang tengah melaju. Saya sempat melihat pelempar, anak kecil itu tertawa senang seolah berhasil meraih sebuah pencapaian.
Peristiwa ini kembali terulang di kereta Argo Parahyangan yang saya tumpangi dari Bandung ke Jakartapada Jumat 16 September 2011. Menjelang Bekasi, sebuah batu melayang menembus kaca, mengenai seorang ibu dan anak gadisnya.
Fenomena seperti ini bukan sekali dua kali saya temui, dan bukan hanya di kereta Argo Parahyangan. Bahkan, jika kita cermat memerhatikan kereta-kereta api, maka akan kita temukan kaca-kaca retak akibat lemparan, bahkan tak jarang jendela di gerbong tidak ada kacanya sama sekali. Ini adalah gejala yang mulai banyak terjadi, namun cenderung terabaikan. Namun yang jelas, ada yang salah dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakter anak-anak yang gemar melempari batu tersebut. Anak-anak ini memeroleh kegembiraan dari sesuatu yang tak sepatutnya dilakukan, apalagi dirayakan.
Lalu, perhatikan lagi sebuah fenomena menarik ketika Tim Nasional Indonesia berlaga melawan Bahrain di Senayan pada 6 September 2011 lalu. Walau PSSI sudah menjaga ketat dan mewanti-wanti melalui berbagai media agar penonton tidak membawa petasan dan kembang api ke dalam stadion karena ancaman hukuman dari FIFA (Asosiasi Sepak Bola Internasional), toh masih lolos juga. Ledakan petasan membuat pertandingan sempat dihentikan oleh wasit. Bahkan, kejadian ledakan petasan sempat terjadi beberapa kali. Terutama ketika Indonesia dibobol kedua kalinya oleh Bahrain.
Dari semua itu, tidakkah ada sesuatu dalam psikologi bangsa ini? Kita merayakan kesenangan dan melampiaskan kekesalan dengan lemparan, ledakan, dan api. Semua itu menunjukkan ada sebuah kompleksitas dalam alam bawah sadar kolektif bangsa ini, yang kemudian memunculkan karakter semacam itu. Kita bahkan sudah tidak mengindahkan kepentingan umum, orang lain yang menjadi korban, atau efek yang lebih besar akibat tindakan kita merayakan atau melampiaskan sesuatu dari dalam diri tersebut. Itulah sebuah kekerasan dalam diri yang di saat-saat tertentu keluar dan menguasai kesadaran kita.
Dalam diri manusia, sebenarnya ada hasrat yang bisa menguasai manusia dan membuatnya bertindak tidak manusiawi. Manusia, pada dasarnya juga makhluk yang sama seperti hewan. Bahkan secaraspesies, manusia tergolong mamalia karena sejumlah kesamaan pokok dengan hewan-hewan mamalia lain. Itu hal yang natur, alami, nyata, dan tak perlu ditutupi. Perbedaannya, manusia memiliki kebudayaan. Ia mampu mengubah yang natur menjadi kultur. Sebelum bicara akal budi sebagai pembeda manusia dan binatang, maka terlebih dahulu harus belajar budaya, atau ajaran budi itu sendiri. Tanpa itu, manusia tetap saja sama dengan binatang. Itulah sebabnya, kebudayaan menjadi aspek penting dalam konsep pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara. Masuk akal pula, jika sekian tahun lalu, Departemen Pendidikan disatukan dengan Kebudayaan, karena Kebudayaan memiliki kontribusi besar bagi pembentukan karakter, mengubah apa yang natur dalam diri manusia, menjadi kultur.
Saya melihat samar benang merah di sini. Dewasa ini, kita hanya memahami kebudayaan sebatas obyek pariwisata atau heritage. Hotel-hotel didirikan, situs-situs ditata dan dikomersialisasi sedemikian rupa, sampai berbagai artifak kebudayaan diperdagangkan baik secara gelap maupun terang-terangan. Lalu, ke mana nilai-nilai luhur yang selalu ada dalam setiap kebudayaan? Nampaknya nilai-nilai itu menguap entah kemana. Akibatnya, pendidikan hanya semata persoalan angka, status, dan selembar ijazah yang ditenteng untuk melamar kerja. Pendidikan itu sendiri, gagal mentransformasi yang terbaik dalam diri masing-masing individu yang sifatnya natur untuk dijadikan kultur.
Kita bisa menengok survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy pada sistem pendidikan di 12 negara Asia. Hasil survei menempatkan Indonesia dengan sistem pendidikan terburuk atau urutan ke 12. Lengkapnya adalah: 1) Korea Selatan; 2) Singapura; 3) Jepang; 4) Taiwan; 5) India; 6) China; 7) Malaysia; Hong Kong; 9) Filipina; 10) Thailand; 11) Vietnam; 12) Indonesia. Pada tahun 2007, World Competitiveness Year Book melakukan survei dan menemukan hasil bahwa daya saing pendidikan Indonesia berada pada urutan 53 dari 55 negara yang disurvei. Sedangkan hasil survei UNDP tahun 2010 terhadap Human Development Index, posisi Indonesia berada di urutan ke 110 dari 169 negara yang disurvei.
Sepintas mungkin tidak mengagetkan, namun kejanggalan akan terasa jika kita mengontraskan dengan data bahwa pelajaran anak-anak sekolah di Indonesia bisa dikatakan lebih ‘maju’ dibandingkan dengan anak-anak di negara Barat. Misalnya, pelajaran yang pada anak-anak di Barat baru dikuasai ketika kelas 5 SD, maka di Indonesia anak kelas 3 SD sudah menguasai pelajaran tersebut. Artinya, ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Anak-anak ini dijejali materi pendidikan namun tak membuat potensi mereka berkembang menjadi sebuah daya saing.
Ketika kita bicara daya saing, maka tak akan bisa dilepaskan dari persoalan karakter. Tak heran kita lemah, karena persoalan pendidikan bukan membentuk apa yang natur menjadi kultur, melainkan persoalan mengejar angka dan menenteng ijazah untuk melamar kerja semata. Itu juga mengapa muncul persoalan semacam nyontek massal, siswa bunuh diri karena tak lulus UNAS, atau DPRD di kota metropolitan yang minta ujian nasional diulang karena siswa kotanya banyak yang tak lulus. Semua itu bicara tentang lemahnya pembentukan nilai luhur yang semestinya sudah ada dalam kebudayaan kita. Semua itu bicara tentang lepasnya kebudayaan untuk membangun karakter melalui pendidikan.
Kebudayaan, meliputi masyarakat, lingkungan hingga keluarga. Itulah komponen utama pendidikan karakter. Jika ditilik lebih jauh, Ki Hadjar Dewantara pernah mengemukakan konsep pendidikan among methode, yang bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei) dan menggunakan keadaban budaya kita sendiri (cultuurhistorie) sebagai penunjuk jalan bagi perkembangan individu. Pada kongres Taman Siswa tahun 1930 dirumuskan Panca Dharma yang terdiri dari: (1) kodrat alam, (2) kemerdekaan, (3) kebudayaan, (4) kebangsaan, dan (5) kemanusiaan. Kelimanya adalah komponen utama pendidikan di Taman Siswa. Konsep itu mendasari bagaimana budaya lokal menjadi pijakan yang nantinya akan berjalan selaras dengan kebangsaan dan kapasitas untuk bersaing di tingkat internasional.
Saya kira, kita mampu untuk membuat sebuah pendidikan yang lebih baik. Sebuah pendidikan yang kembali pada ajaran budi pekerti. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar